SAIFUL ABDULLAH, S.Pd
Guru SMKN Wewiku Badarai Kabupaten Malaka. NTT
Dewasa ini bagaimana politik sudah merajalela dalam keseharian aktifitas manusia, bagaimana politik sudah di interperestasikan dengan berbagai ideologi-ideologi baru. Kekuasaan dan kekuasaan yang menjadi inti dalam politik itu sendiri sudah menjadi berlian yang sangat berharga untuk diburu sehingga dengan cara apapun kekuasaan itu dapat di dapatkan.
Tulisan ini berisikan tentang bagaimana realitas kekinian tentang banyak dan maraknya praktek-praktek politik dalam dunia pendidikan khususnya guru. Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan dan politik dalam konsep keidealannya tak bisa begitu saja di satukan, banyak aspek yang membuat semua itu berlaku, yang mana guru tidak bisa ikut serta dalam politik dan bagaimana pegawai dinas yang terikat dalam birokrat pendidikan dilarang mengambil andil dalam segala macam praktek politik lainnya. Politik dalam pendidikan memang bisa dikatakan sangat sulit untuk didapatkan titik keidealannya, selain dikarenakan bagaimana tokoh-tokoh pendidikan yang memang aktif dan seakan tidak tahu menahu bahwa mereka sedang berada di jalur yang salah dan juga pada dasarnya politik dalam artian kekuasaan ini sudah merenggut konsep prinsip dan ideologi orang-orang tentang bagaimana tetap akan adanya permainan politik kekuasaan di dalamnya. Dan satu hal lagi tentang masih adanya kesimpangsiuran yang mana dikatakan politik dan bukan politik dalam pendidikan, walaupun hanya dalam skala paling kecil saja. Banyak tokoh pendidikan khususnya guru yang bergelut dalam system birokrat pendidikan itu sendiri yang menjadi tumbal ataupun korban dalam pertarungan antara politik dan pendidikan bagaimana dia menjadi kambing hitam oleh orang-orang yang ingin berkuasa dan bagian dari mereka yang tak mengenal system kekerabatan lagi, tidak mengenal nilai-nilai kearifan local tentang system kekeluargaan akan tetapi lebih mengutamakan tentang adanya kelas-kelas sosial ataupun startifikasi sosial bagaimana seperti dikatakan bapak politik dunia yaitu Machevelli bahwa tidak ada teman sejati yang ada hanya kepentingan sejati.
Konsep pendidikan sebenarnya ada tentang pembelajaran politik. Dan baiknya begitu. Akan tetapi sebenarnya dalam hakikatnya bagaimana orang-orang dalam instansi pendidikan juga baiknya diberikan pendidikan politik tentang batasan-batasan, sepatutnya dan seharusnya porsi-porsi politik yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga politik praktis dan lain sebagainya tidak lagi menjadi momok tersendiri oleh mereka yang ada dibidang pendidikan. Dari inilah bahwasanya masih sangat hangat tentang banyaknya problem-problem di mata pendidikan yang sebenarnya kecil akan tetapi semakin tidak diketahui maka gerakan seperti ini akan semakin besar dan berdampak negative yang besar pula nantinya.
Pada bulan Maret 2017 lalu, pemerintah mengeluarkan aturan perlindungan tenaga kependidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017.
Permendikbud tersebut melindungi pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik terdiri dari guru, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan narasumber teknis.
Sedangkan perlindungan yang diberikan meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan perlindungan hak dan kekayaan intelektual (pasal 2). Perlindungan hukum meliputi perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan yang tidak disebabkan peserta didik, orang tua, masyarakat, birokrasi, dan pihak lain.
Dalam beberapa hal, Permendikbud ini hanya mengulang atau menjabarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru dan Dosen, Undang-undang Ketenagakerjaan, dan Undang-undang Hak Cipta.
Walaupun substansi perlindungan dalam Permendikbud ini mencakup beberapa hal yang lebih luas sebagaimana tertera pada pasal (2), sebenarnya peraturan ini lebih dititikberatkan pada perlindungan guru, yang memang selama ini dituntut para guru untuk mendapat perlindungan dari hal-hal yang mendiskriminatifkan profesi guru sesuai pasal (2) bagian c. Karena substansi lainnya, telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Itu karena, guru adalah sebuah profesi, yang berarti mereka juga tenaga kerja alias buruh sebagaimana profesi lainnya. Sebagai profesi, tenaga kerja, atau buruh, guru membutuhkan perlindungan profesi dari berbagai risiko terkait pekerjaan yang dilakukannya termasuk guru menjadi tumbal atau korban politik Pilkada.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Demikian rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pemerintah yang mempresentasikan negara, sebagaimana tujuan negara itu sendiri, maka pemerintah harus memastikan pelaksanaan hak dan kewajiban, mencegah terjadinya resiko yang selalu mengancam dirinya dan lain sebagainnya juga untuk melindungi segenap bangsa di dalam suatu negara serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dari negara itu adalah termasuk di dalam makna perlindungan hukum. Hal seperti itu merupakan teori perlindungan hukum yang dikemukakan oleh H.W.R. Wade dan terungkap setelah memperhatikan pandangannya : “.....the need to protect the citien against arbitrary goverment”.
Perlindungan hukum bagi subyek hukum, terutama penduduk atau citizen sebagaimana dikemukakan dalam teori Wade di atas merupakan semangat yang cocok dengan pembentukan dan pendirian negara. Semangat itu bahkan dirinci lebih dalam didalam Undang-undang Guru dan Dosen, dimana Undang-undang Guru dan Dosen menjadi satuan amatan dalam menganalisis pengaturan perlindungan hukum bagi guru.
Hakekat perlindungan hukum bagi profesi guru pada umumnya dapat dipahami dengan cara menelusuri sumber pengaturannya. Termasuk dalam sumber pengaturan adalah sejarah atau historical dimention yang di dalam sistem hukum Indonesia manifestasinya dari landasan filosofis, yaitu Pancasila. Secara historis struktur peraturan perundang-undangan, konsepsi tentang pofesi guru dapat ditemukan pengaturan atau penyebutannya yang eksplisit di dalam Bab XIII tentang Pendidikan Pasal 31 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, ditentukan bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran, dan Pasal 31 ayat (2) disebutlkan bahwa : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Sebagaimana uraian dalam latar belakang di atas, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas untuk mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Demikian rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebutkan bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam melaksanakan tugas. Selanjutnya pada pasal 39 ayat (2) disebutkan bahwa “perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Selanjutnya dalam Pasal 39 ayat (3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa “perlindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup perlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, itimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain.
Perlindungan hukum yang ditempuh melalui suatu legislasi memiliki asas-asas hukum yang mendasarinya. Demikian pula, perlindungan hukum yang ditempuh melalui upaya pembuatan dan pencantuman langkah-langkah melalui legislasi yang memiliki tujuan, ruang lingkup, direncanakan melalui strategi dan kebijakan. Semua hal itu dapat dijumpai dalam setiap legislasi yang utama diadakan dengan persamaan tujuan yaitu perlindungan hukum.
Terlepas dari pandangan diatas tentang bagaimana perjalan pendidikan dan politik kita, sekarang ini sudah banyak distorsi-distorsi dalam kaitannya warna dan cara perpolitikan yang ada dalam dunia pendidikan. Politik dewasa ini adalah mengibaratkan pada pola keseharian atau pola kebiasaan yang tidak disadari dilakukan ataupun tidak diketahui hakikatnya bagaimana. Pendidikan dan politik telah menginjak pada dimensi berbeda dari zaman-zaman sebelumnya, strategi berpolitik sudah masuk dalam kawasan kerja dan ideology berfikir dunia pendidikan. Politik kental dengan kekuasaan pendidikan, banyak hal dalam pendidikan dapat dirasuki oleh ruh politik dalam pemerolehan kekuasaan nantinya. Strategi politik atau dalam kekhususannya adalah strategi kaum politik yang mempunyai relasi dalam pendidikan adalah bagaimana munculnya politik praktis dalam kalangan pendidik, baik itu pegawai biasa maupun kalangan guru. Strategi ini bukan tanpa tujuan akan tetapi bagaimana adanya relasi-relasi nantinya apabila dalam perjalanan strategi pemeroleh kekuasaannya akan ada bantuan politik didalamnya. Para guru diiming-imingi oleh kekuasaan yang membentengi apabila ada hal-hal dalam kaitannya persaingan maupun keranah penurunan jabatan sampai pemberhentian. Bukan hanya iming-iming geep dibelakang akan tetapi para penguasa dalam tataran pusat ataupun sumber disini mempunyai cara lain dalam memperoleh hati dari kaum guru ini yaitu menaikkan pemasukan atau gaji serta jabatan dan lain sebagainya.
Strategi politik dalam pendidikan memang menjadi pembahasan yang tidak biasa akan tetapi sebenarnya banyak terjadi disekeliling kita. Dan yang menjadi strategi yang paling Nampak bagaimana para tokoh pendidikan dalam hal ini guru menjadi actor utama dan dibentengi oleh orang-orang besar dibelakangnya yang mana menyebabkan adanya kelas-kelas dalam kalangan pendidikan, contohnya saja bagaimana dengan adanya relasi dengan penguasa maka kebanyakan tokoh politik dalam keinginan dan kebutuhan bisa dibantu oleh orang besar tadi. Dengan demikian adanya hubungan patron klien di dalam structural fungsional ini. Strategi ini lebih menekankan bahwa bagaimana kebutuhan akan kekuasaan ini memang benar-benar nyata bagaimana sebelum mendapatkan kekuasaan para kaum pendidikan dimanjakan dengan bantuan-bantuan dan juga kaum pendidikan tadi yang menjadi klien juga membantu dalam pemerolehan kekuasaan nantinya, timbal balik ada dalam strategi ini, ada yang diuntungkan dan menguntungkan sama besarnya dalam ranah berbeda sampai nantinya bagaimana keduanya saling membantu dalam mendapatkan kekuasaan dan menurunkan kelas-kelas penghalang dalam persaingan politiknya.
Banyak guru kini terjun sebagai salah satu tim sukses dalam pemilihan kepala daerah,. Hal tersebut bukan saja secara kebetulan terlihat, namun kenyataan guru menjadi korban politisasi politik praktis memang banyak terjadi didaerah-daerah.
Model permasalahan yang melanda setiap daerah di Indonesia tak pernah luput dari penyakit sosial akibat dinamika Pilkada. Pesta demokrasi ini meskipun berjalan indah namun setiap event pesta berakhir selalu berujung pada balas dendam berupa pelengseran jabatan pada semua musuh yang menjadi lawan politik. Penyakit ini selalu diwariskan secara turun temurun dari generasi awal ke generasi berikutnya bahkan sudah seperti momok (hantu) yang selalu menakut-nakuti serta meresahkan masyarakat, hingga berimplikasi pada penyakit sosial yang berkepanjangan. Penyakit ini kian menjamur hingga tak mau lepas dalam kehidupan perpolitikan didaerah-daerah di Indonesia.
Belakangan daerah-daerah yang yang melaksanakan Pilkada serentak, dihebohkan dengan adanya isu guru yang akan dimutasi bahkan dicopot dari jabatannya dari kepala sekolah menjadi guru biasa (bantu), diduga karena berlawanan arus politik. Isu itu memberikan perasaan dilema dan depresi yang berat di kalangan para guru-guru. Karena guru ini harus siap dan rela berpisah dengan istri dan anaknya, akibat pemutasian yang menempatkannya jauh dari tempat asalnya.
Berdasarkan fakta di atas, guru-guru ini hanya dijadikan sebagai tumbal oleh beberapa kepentingan elit politik pilkada yang rakus dengan kekuasaan. Jika guru diperlakukan seperti kapas yang diombang-ambingkan oleh angin, maka secara otomatis akan mengganggu sistem pendidikan disekolah dan akibatnya konsistensi belajar siswa pun akan terganggu pula. Hal tersebut membuat para guru sangat tertekan karena sejatinya tugas guru adalah mengajar, membimbing, serta mendidik bukan terlibat kedalam dunia politik praktis. Fakta ini sengaja dibiarkan, karena pemerintah daerah tidak begitu paham soal pendidikan.Jika fakta ini dibiarkan begitu saja, maka semakin menjauhkan kita dari harapan pendidikan yang diamanahkan dalam UU No. 20 Tahun 2003, yaitu pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa ke pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab.
Kenyataan baru yang terjadi belakangan ini, pada beberapa pemilihan kepala daerah ada kandidat pemenang Pilkada yang tidak lagi menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan umat melainkan menggunakan kekuasaannya untuk bertindak seolah raja-raja kecil di daerah. Fakta ini seperti yang terjadi dibeberapa Kabupaten, pasca Pilkada serentak. Sebagian besar guru merasa resah, sebab mereka akan dimutasi di tempat yang jauh dari anak serta istrinya. Serangkaian pemutasian yang besar-besaran ini dibiarkan begitu saja seolah pemerintah tak memiliki mata dan telinga. Pada akhirnya tak menutup kemungkinan hal tersebut berdampak pada menurunnya kualitas pendidikan di daerah itu.
Semestinya keberadaan guru harus mendapat perhatian khusus oleh pemerintah daerah. Berkat didikan mereka sehingga menelurkan generasi-generasi pemimpin yang kelak akan melanjutkan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Adanya presiden, gubernur, bahkan bupati sekalipun itu berkat dedikasi seorang guru. Bahkan gurupun pantas memperoleh gelar sebagai pahwalan, meskipun terkadang hak-haknya diabaikan dan ditelantarkan oleh sekelompok elit penguasa daerah.
Betapa miris melihat tingkah para pelaku elit-elit penguasa daerah yang kerap cekikikan dan tebar senyum di media mencoba membangun citra. Padahal, di keadalaman labirin hatinya, sesungguhnya dirinya nelangsa. Langit serasa runtuh saat masyarakat memandangnya sinis, publik mengomentarinya nyinyir, dan media membongkar aibnya.
Fakta bahwa dinamika politik pilkada penuh intrik dan asumsi seolah menjadi determinasi berbagai ekspektasi yang dititipkan oleh rakyat, sehingga harapan itu kerap pupus oleh proses tak berujung. Bahkan tak jarang berakibat pada terjadinya gelombang pesimisme yang lalu mendekonstruksi semangat demokratisasi. Sejumlah fakta yang nampak dari tingkat partisipasi pemilih menyadarkan kita bahwa pendidikan politik di negara yang luas ini belum merata.
Kini saatnya kita harus merubah stigma negatif dalam memandang kacamata politik. Sejatinya politik harus diintegrasikan kedalam politik kemanusiaan, sehingga memberikan manfaat untuk masyarakat secara menyeluruh dan utuh.
Oleh sebab itu kiranya pemerintah kini harus memberikan perlindungan terhadap keberadaan guru, terutama dari upaya politisasi menjelang pilkada. Sebagai warga negara, guru memiliki hak berpolitik yang tidak boleh diganggu oleh siapapun. Jika ini terus dilakukan maka peran guru lebih mengedepankan sikap profesionalnya sebagai pengajar, begitu pula dengan Komisi Pemilihan Umum atau tim sukses tertentu untuk memberikan pemahaman menggunakan hak pilih, namun jangan sampai mengarah pada calon pemilih.
Oleh sebab itulah kiranya profesi guru dan pendidik, untuk membuat aturan tegas dan menegakkan kode etik profesi guru untuk menghindari para anggotanya terlibat dalam politik praktis, termasuk dalam pemilukada.
Guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai kewenangan masing-masing. Rasa aman dan jaminan keselamatan tersebut diperoleh guru melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja.
Bentuk perlindungan terhadap profesi guru sendiri sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (disingkat PP) Nomor 74 Tahun 2008. Dalam PP tersebut, Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih menilai, dan mengaevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pemerintah juga telah mengeluarkan aturan perlindungan tenaga kependidikan melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 10 Tahun 2017.
Permendikbud tersebut melindungi pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik terdiri dari guru, pamong belajar, tutor, instruktur, fasilitator, dan narasumber teknis.
Sedangkan perlindungan yang diberikan meliputi perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, dan perlindungan hak dan kekayaan intelektual (pasal 2). Perlindungan hukum meliputi perlindungan dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan yang tidak disebabkan peserta didik, orang tua, masyarakat, birokrasi, dan pihak lain.
Persepsi Politik dalam Pendidikan adalah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya pembusukan dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan itu sendiri. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka begitu minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah dunia pendidikan. Oleh karena itu tidak aneh bila selama ini sektor pendidikan mereka jadikan sekedar kuda tunggangan. Sebab yang ada dalam benak mereka hanyalah kepentingan-kepentingan politik sesaat, seperti bagaimana mendapat sebanyak mungkin simpati dari golongan mayoritas tertentu serta bagaimana dapat menduduki kursi panas selama mungkin..
Adapun menurut hemat saya, hubungan antara politik pendidikan dapat memberikan dampak negatif atau positif bergantung pada pemegang peranan penting dalam politik tersebut. Jika pemegang tanggung jawab pendidikan dalam politik tidak mempunyai kompeten dalam bidang pendidikan, maka pasti ini sangat membahayakan pendidikan. Akan tetapi jika orang yang memegang amanah untuk mengembangkan pendidikan dalam sistem pemerintahan suatu negara adalah orang yang amanah serta mempunyai kapabilitas di bidang pendidikan maka ini sangat memungkinkan untuk memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pendidikan, khususnya di Indonesia.
Oleh karena itu, barangkali kita perlu melakukan refleksi sejarah bahwa konsesus para pendiri bangsa yang berhasil menyelesaikan rumusan ideologi negara Pancasila merupakan lompatan perjalanan bangsa yang semestinya melekat dalam memori dan menjadi pemandu kita dalam melangkah maju. Pancasila jangan dijadikan ideologi sunyi saja, baik dari segi nilai aplikatif maupun wacana, untuk memperkaya referensi kebangsaan. Bukan hanya gaduh, riuh, dan hingar-bingar diruang kekuasaan. Kasus pemutasian guru-guru sebagai representasi dari kelompok elit politik penguasa, cukup menjadi alarm akan ancaman siklus yang berkepanjangan. Ideologi Pancasilalah yang harus memotong mata rantai itu. Dan tentu para pengambil kebijakanlah dalam hal ini Pemerintah Daerah yang harus mengawalinya sebagai cerminan untuk masyarakat kita dipelosok daerah.
0 Komentar