Saiful Abdullah, S.Pd
Guru SMKN Wewiku Badarai
Kisah ini tentang sebuah waktu. Tentang seorang laki-laki yang tenggelam dalam lautan memori dan tentang perasaan yang belum siap untuk terluka lagi. Ini kisah haru sedih dan bahagia. Tentang luka yang mungkin bisa sembuh namun tak bisa hilang. Tentang kekuatan rasa yang selalu diuji keacuhan. Tentang perasaan yang selalu siap untuk dikorbankan.
Ini tentang perjalanan rasa yang mungkin tidak kau ketahui, sebab engkaupun mungkin belum siap untuk mengerti, aku memahami bahwa mengorbankan adalah tentang keikhlasan hati, juga tentang ketabahan diri, rasa selalu menjadi yang pertama terluka buah dari sepatah kata yang tak bermakna.
Disatu senja aku duduk bersama gemuruh ombak menemani berlalunya hari ini, perlahan senja mulai berlalu, bersama jutaan kisah manusia hari ini, aku menatap senja yang ingin menjauh seperti rasa dan kisahku padamu saat ini yang perlahan menepi meninggalkan jauh bersama kepingan luka berbalut lara.
Tak akan pernah ada yang mengaku terang-terangan bahwa pergi adalah sebuah tujuan sebab, dia tahu sejatinya rasa itu tidak mesti disampaikan sebab alasan pergi, penyangkalan adalah kelihaian lisan dan hati yang selalu ditampakan, seolah hati dan rasaku menjadi yang patut untuk dikasihi dan pada akhirnya rasa mu menyerteku menjadi pihak yang paling pantas dipersalahkan.
Selama kau terus berpaling dan melihat kearah lain, selama itu pula aku masih setia berada dibelakang dan memperhatikanmu dari jarak yang selalu terjaga, mengkhawatirkan rasa padamu meski terkadang lelah menjadi rasa yang bertandang.
Aku melihat begitu banyak rasa yang siap menyapamu, merayumu dan bahkan memaksamu untuk semakin berpaling pada yang lain, kubiarkan mereka berkata apapun tentang diriku, kubiarkan mereka menilai menalaah dan menyimpulkan sesuatu tentangku. Sebab soal rasa tak mungkin mereka merasakan hal yang sama.
Tiada yang hilang dalam senja, doa yang selalu terucap, pinta yang tak kunjung menancap, dan rasa yang jatuh pada lautan sedih teromabng-ambing bersama buih yang tak berarah, harapan orang-orang yang patah hatinya memaksa membuka apa yang dsembunyikan pada retak langit menunggu dikabulkan atau diabaikan.
Aku dan kau, sama-sama sudah saling memahami tentang rasa, adalah dua orang yang dengan mudah membuat orang lain bahagia dengan apa yang kita bagikan, tengah memikiran, kisah dan setiap lembar cerita kehidupan yang kita temukan setiap detik, pada setiap pagi yang tak diinginkan untuk setiap ingatan, sedang malam yang kian melarut dan dunia yang semakin terpejam, tinggalah kita terbangun pada setiap kebahagiaan yang orang lain rasakan sedang kita menyiksa diri dengan saling menutup rasa dan membiarkannya berlalu tanpa sisa.
Selama ini ada banyak kenangan yang berhasil ku tuliskan dalam lembaran hidup yang sedang berjalan, ada banyak memori yang sempat kuabadikan, tentang kita, tentang rindu yang memcah waktu dan tawa yang memecah jarak. Dan untuk mengaku rindu sebenarnya aku sangat mampu namun, aku lebih senang tak membuatmu tahu sebab segala hal tak mesti harus diucapkan agar tidak berkurang nilainya dan tak hilang rasanya.
Senja di penghujung hari menjadi pelampiasan setiap hati yang terluka, jiwa yang merana dan penantian yang sia-sia, ini tentang waktu dan tentang rasa yang terabai pada setiap perpisahan yang terbingkai, angan berimajinasi tentang bahagia walau hati sedang marah dan tak mau ditanya, akhirnya jemari mengalur mengukir mengikuti imajinasi dan berkelanan menjadi teman dalam sesal.
Ini tentang rasa yang salah, dan tentang pengorbanan yang sia-sia pada setiap kisah yang terpatah, melawan arus fitrah yang tercurah, akhirnya luka menjadi kawan sedang bahagia menjadi musuh bijak yang dipalingkan rasa. Hingga akhirnya jiwa menjadi lupa tentang diri yang bertahta pada rasa.
Memang sulit memahami rasa dia selalu berhasil memalingkan menuju pada yang dia suka, benci berupa menjadi cinta, dan cinta menjadi malapetaka jiwa, rasa paling pandai dalam memahami diri wajar jika rasa sering menggelayut menjadi penyamar hati pada setiap kata yang tertuang dalam sebuah aksara.
Perasaan yang tak pernah sama menjadikan kita selalu curiga dan mungkin menruh segudang tanya yang sulit ditafsirkan oleh kata dan diterka oleh rasa, dulu aku selalu berkata bahwa rasa dan hati adalah keindahan yang tak bisa di tunda, hati begitu mudahnya berubah dan selalu mencari hasrat diri yang semakin dituruti semakin menggila, namun itu dulu sebab saat ini kita saling memahami bahwa, tuhan dan kuasanya menjadikan kita memahami untuk saling bersabar dengan jarak yang selalu terjaga, sebab siapa lah kita tidak ada satu alasanpun untuk saling menyapa sebelum agama mengikat kita dengan ridho Tuhannya.
Sekarang kita memahami bahwa rasa harus selalu dijaga, saat diri belum kuasa mengutarakannya, aku memahami bahwa awal dari menjaga rasa tak lain adalah sebuah ketersiksaaan bagi ikwan akhwat yang terbuai oleh gharizah sedang diri memutuskan untuk berhujrah, namun saat ini kita bisa membuktikan pada lelaki-lelaki yang faqir komitmen dan perempuan-perempuan pengemis rasa bahwa saat ini kita terbiasa tidak bermain dengan rasa bahkan kita bisa mendidik perasaan untuk lebih tau diri tentang gezolak rasa yang yang menerpa setiap relung jiwa.
mungkin dulu saat kita bersama, kita banyak bebicara tentang rasa dan terkadang membuat kesimpulan diantara kita dan pernah setuju bahwa wanita yang imajinatif suka suka membuat prolog. didalam pikirannya penuh dengan kerangka monolog sedang lelaki pemenang adalah yang mampu menyusunnya menjadi sebuah dialog serta memberi gambaran cerita indah sebagai epilog.
Kitapun sering mengira bahwa ungkapan rasa adalah dengan berucap indah nan manis, yang tak mampu berkata tidak layak dikata romantis, itulah kita dimasa lalu yang masih lugu dalam memahami arti sebuah rasa pada kalbu, dan kini kita menjadi tahu bahwa mencari bukan tentang menunggunya hati, bukan pula tentang rapuhnya jiwa atau terlukanya rasa namun tentang memahami untuk saling terjaga.
Tidak mudah memang menjaga rasa untuk tetap setia pada yang kuasa, sebab aqhwa hanyalah seorang ikhwan yang terkadang keimanan goyah dihempas hembusan angin kehidupan, situasi hati yang tak pernah pasti terkadang setuju tentang apa hati mau, ada yang terjerat oleh rasa ada yang terbuntu oleh rindu, ada yang terseok-seok akan luka masa lalu, juga ada yang senyum-senyum bahagia, karena semua yang digenggamnya tak lain adalah cinta.
Karena iman ibarat gelombang datang silih berganti terkadang menerjang dan menggetarkan iman, namun tidak jarang pula hadir dengan tenang dan kalah oleh karang duniawi, menghempas jauh membawa pada pusaran rasa ditengah lautan doa yang selalu terbaca.
Keluhnya kepedihan batin, memaksa jiwa untuk menerka bahwa luka adalah bagian dari cara tentang bagaimana menerima, merelakan bahkan melepaskan, tak jera meski berulang tersakiti, bukan tentang dilupakan dan dikecewakan namun berharap pada angan yang tinggi dari hasrat yang tak terbaca oleh penerka rasa dan diantara jutaan hati yang siap terluka sebab rasa yang salah memahami dirinya dalam menerka tentang apa yang disebut kecewa.
Akhirnya juga kurelakan, tentang sebuah artinya kehilangan meski segala rasa telah diberikan berbalut kekurangan, tak apa jika semua yang terbaik untuk menghargai rasa yang selalu salah memaknai pesan dari yang kau tuliskan lewat sajak diantara barisan kata yang mengukir dan meyapa hati.
Aku suka gayamu mengukir kata, dengan kejujuranmu dalam berucap dan yang kau curahkan tentang perasaanmu aku selalu membaca, tanpa harus bertemu aku sudah mampu menerka pemikiran dan kedewasaanmu, dan aku suka ketulusanmu pada ucapanmu yang kau jadikan teman pelepas penatnya rasa dan sesaknya jiwa. Namun akupun sadar diri bahwa setiap bait indah yang kau ucapkan memiliki makna tersirat menjadi penyamar rasa hatimu untuk seseorang dan aku tidak kuasa dengan itu.
Aku hanya mampu membaca yang tampak oleh mata dan dari apa yang terlihat saja, hanya itulah yang bisa ku baca dari kehidupanmu saat ini, aku mengawasimu dari jarak yang selalu kujaga dan jauh dari pandang mata hingga aku sadar bahwa kelak aku akan terluka, meski terkadang rasa menerka untuk berucap ditengah kecamuk bimbang. Itulah aku tidak dapat mengerti wanita, walau wanita ingin dimengerti.
Rasa ternaiaya sunyi pada sepertiga malam meyakinkan bahwa rasa akan bias oleh harapan semu yang perlahan larut dalam kabut malam, terhempas bersama angin kesedihan yang menjelma menjadi ribuan rasa yang tak pernah dewasa bahwa memendam adalah menyakiti dan mengutarakan rasa bukti jiwa belum dewasa, maka kulepaskan segala rasa yang menerka tak beretika meski akan lekang oleh waktu.
Terkadang rasa datang dan pergi tak peduli situasi hati, sering memang perasaan harus terbagi pada harapan tentang diri dengan mimpi yang sudah di ukir jauh hari, di satu sisi diri dihadapkan pada realita diri yang terkadang belum mampu dewasa untuk menilai dan memahami tentang bagaimana mendewasakan rasa disaat luka menerpa.
Hanya keikhlasan dalam palung jiwa yang terkadang mengetuk menjadi sandaran dan menjadi penyejuk disaat semua harapan layu, disaat semua penantian tak lagi berarti dan saat jiwa tak lagi mampu menerka tentang derai air mata yang terurai, terhimpit keluhnya kepedihan dan rapuhnya jiwa jika hanya rasa yang selalu bersalah.
Mungkin inilah perjalanan, terkadang jiwa jatuh pada kesalahan yang sama, sebab rasa hanya menerka pada apa yang tersentuh oleh jiwa dan terhembus oleh prasangka, terkadang tidak berfikir jernih untuk sekedar memahami bahwa segalanya tidak harus dengan menerima dan melupakan tidak harus dengan merelakan.
Hingga akhirnya perjalanan hidup harus dilanjutkan selama diri masih ada waktu untuk berbenah bekal sembari menunggu tentang hati yang yang tak kunjung bertamu, tentang hati yang tak kunjung bahagia dan jiwa yang belum mampu dewasa serta rasa yang sulit untuk bijaksana.
perlahan jalan kehidupan terlewati, begitupun dengan orang-orang yang pernah hadir mewarnai perjalanan meski hanya sekedar bersama kemudian pergi, tak perlu dijelaskan sebab alasan pergi sebab semua memahami bahwa semua alasan telah pergi bersama selembar kenangan yang pernah singgah menyapa hati.
Untaian setiap kalimat yang terucap terkadang tidak mewakili dengan apa yang dirasa hati, justru mungkin akan berbanding terbalik dengan raut wajah yang selalu berpaling pada setiap keadaan yang membutuhkan hati untuk menerka.
Alunan rindu menggelayut dalam relung jiwa dan panasnya rasa, angan berhalusinasi pada sebuah titik yang tak berujung diantara banyaknya jalan yang terbentang, ini tentang rasa dan tentang seorang manusia yang kecewa, ini tentang kesabaran untuk perempuan yang selalu menunggu meski sudah tau akan terluka. Ini tentang komitmen untuk lelaki bahwa hati akan ragu jika engkau hadir tanpa pasti.
Dengan begitu kedewasaan rasa pada diri menjadi bukti bahwa yang pasti adalah yang datang menyapa dengan hati, tak perlu banyak dalih untuk memahami sebab ketulusan dan keseriusan tidak memerlukan banyak puisi tentang rasa, atau banyaknya alasan untuk membaca, namun kepastian hadir pada saat jiwa dan rasa berpadu menjelma menjadi bait sajak yang indah diantara deretan baris setiap kalimat yang tertulis.
Memang sulit untuk melepaskan, lebih baik menunggu jika harus merelakan. Larut dalam kesendirian bersama kertas usang yang tak bertuan diantara deretan harapan dan kerinduan yang melebur menjadi benci sebab yang ditunggu tak kunjung hadir meski sudah berjanji.
Mungkin jika waktu tidak ada pertemuan diantara kita, aku bahagia dan tak bersedih seperti ini, engkau pergi bersama kesedihan yang tak bertuan dan bersama sesal kecewa sebab engkau pergi tanpa hati seakan diri tak lagi berarti.
Akupun memahami bahwa segalanya tidak harus sama, sebab diantara kita memiliki naluri dan perasaan yang sama, namun entah apa yang coba hati rasa sebab perlahan raut wajah bahagia itu kian memudar dan berpaling pada sosok baru dalam hidup, akupun menyadari tanpa engkau sampaikan pun aku sudah mampu menebak dengan jelas bahwa engkau adalah bagian dari kekecewaan yang menjadi alasan derai air mata saat ini menemani.
Bumi terlelap bersama luka yang tergores dalam lembar cerita yang dulu pernah kita rangkai menjadi satu mimpi bersama senja sore itu, jiwa tak lagi terasa nyata dan mungkin tak akan pernah nyata sebab jiwa yang terluka mungkin akan lama untuk tersenyum kembali seperti awal saat berjumpa.
Hingga akhirnya aku memahami bahwa aku belum dewasa dengan rasa mudah di kata dan disuka semarang hati, ternyata jiwapun belum cukup dewasa dalam menerka pada setiap hati yang menyapa, hingga aku menjadi bagian dari perempuan-perempuan didunia ini yang terluka karena rasa.
Diantara malam yang menemani dalam setiap hela nafas yang terlewat dan diantara jutaan perempuan yang jatuh cinta, sejatinya sudah cukup untuk menilai pria bahwa tanpa ikatan semuanya akan tersiksa dan kecewa, sialnya perempuan takluk pada rasa yang dibawa lelaki bersama berjuta kata mutiara yang pada isinya adalah racun yang akan diteguk oleh keihlasan cinta seorang wanita yang terbuai dan tak pernah merasa bahwa gelagak tawa bahagia akan berakhir dengan segenggam luka teriring air mata.
Dan diantara banyaknya cerita yang terlewati, diantara penatnya hidup yang diamli dan diantara lelahnya menanti, maka kuputuskan untuk mengawali membuka hati pada yang lain dengan keseriusan dan keikhlasan untuk bersama menyemai benih baru dalam gubuk sederhana dan jauh dari kebisingan dunia nyata.
Aku ingin lebih sederhana dalam menjalani hidup kelak, menikmati sejuk setiap hembusan angin yang setia menemani dan menyapa relung jiwa bersama orang-orang yang juga sederhana dalam dawai rasa, mungkin lebih tenang jika kita menjalani hidup bersama dalam ketenangan menikmati hari tua berbalut suka yang kian terasa.
Cahaya indah bertebaran pada waktu senja, malam mulai mengintip bersama rembulan yang kian menyapa, dan bersama angin malam yang sudah tak kuasa menerima segala cerita tentang kita dan rasa yang akan hadir menjelma dalam sebuah keluarga.
Ini cerita tentang keihlasan hidup juga tentang pedihnya menanti dan trauma duka yang sering kecewa namun tak pernah jera, ternyata bukan soal luka namun tentang rasa yang terjaga sementara meski pada akhirnya lenyap bersama senja.
0 Komentar